Jumat, 25 November 2011

Menonton


 “Asia-Afrika” Menonton (sekedar catatan FFAA III, April 1964)

“…melalui layar putih dengan segalanya hanya gambar dan hanya hiburan sifatnya itulah dibentuk (kaum iseng) ukuran-ukuran baru secara efektif dalam sikap dan tingkah-laku anak-anak tanggung kita.
Ukuran tentang hakekat masa muda?Rebut kenikmatan dalam petualangan!
Ukuran tentang keberanian? Cari musuh dan roti-kalung!
Ukuran tentang cinta? Hitung jumlah gadis yang sudah jadi korban!
Ukuran tentang solidariteit? Penodongan sebagai bukti setia!
Ukuran tentang sukses hidup? “Katakanlah apa yang mau dikatakan, namun Al Capone termasyhur”
(Samandjaja)

Salam persahabatan 150 juta kepada dunia!

Saya yakin, kawan-kawan di sini pasti pernah menonton film, terlepas dari apapun jenis film tersebut, ataupun memperhatikan seluruh Festival Film baik yang diadakan nasional ataupun level internasional seperti Piala Oscar, namun siapa sangka ‘pergulatan film’ di tahun 1960-an di Indonesia, terbakar pula semangat Solidaritas Asia-Afrika.  Tidak seperti yang kita perkirakan, bahwa yang namanya KAA 1955, meskipun hanya disediakan 1 BAB di buku sejarah SD, SMP, SMA, secara historis disediakan sekitar 10 tahun, terhitung, 1955-sampai huru-hara 1965. Terlepas dari beberapa momen KAA yang diadakan rezim Orde Baru, saya pikir tanpa kehadiran ‘politik kebudayaan’ ala Lekra, serasa ada yang kurang.
Pada rentang waktu itulah, momen KAA 1955 dianggap sebagai batu pijakan untuk membangun sebuah rumah baru bernama Asia-Afrika (Amerika Latin menjadi tiang pancang terakhir pasca kedatangan Che Guevara, ke Indonesia, tahun 1959, dan berkunjung ke Candi Borobudur lhooo,,heheJ) ditengah dua rumah besar (USA dan Uni Soviet) yang saling berebut lahan Dunia, seluruh pertemuan antara dua benua intens dilakukan antara lain sebagai berikut.

  1. Konperensi Mahasiswa ASIA AFRIKA di Bandung tahun 1956
  2. Konperensi pendahuluan pengarang ASIA AFRIKA di New Delhi tahun 1956
  3. Konperensi setia kawan rakyat ASIA AFRIKA di Kairo tahun 1957
  4. Konperensi persiapan wanita ASIA AFRIKA di Colombo tahun 1958
  5. Konperensi pemuda ASIA AFRIKA diKairo 1959
  6. Konperensi pertama solidaritas rakyat ASIA AFRIKA di Konakri tahun 1960
  7. Konperensi pertama wanita ASIA AFRIKA 1961
  8. Konperensi ahli hukum ASIA AFRIKA di Konakri tahun 1962
  9. Konperensi pengarang ASIA AFRIKA tahun 1962
  10. Konperensi wartawan ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1963
  11. Konperensi pertama buruh ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1964
  12. Festival film ASIA AFRIKA di Jakarta tahun1964
  13. Konprensi pendahuluan Islam ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1964
  14. Seminar pendahuluan ASIA AFRIKA di Al-Jazair tahun 1655
  15. Konprensi Islam ASIA AFRIKA di Bandung tahun 1965

Khusus, untuk Film, janganlah dibayangkan bahwa pertemuan antar benua tersebut  hanya sekedar membahas film mana yang baik, mana yang banyak konsumen/pangsa pasar, ataupun actor/aktris mana yang paling ganteng dan sexy (dengan sejumlah operasi fisik,,wkwkwk). Namun lebih dari itu, memutuskan sebuah resolusi bersama untuk bersaing dengan film produksi Hollywood. Nuansa zaman yang dihiasi oleh ‘politik sebagai panglima’ (lihat, pidato kawan Nyoto) menjadi factor tersendiri yang memicu ‘bagaimana wajah film Asia-Afrika’ pasca ‘sambung roso’ 1955 di Bandung dengan ‘auman maung’  DasaSila Bandung.
Adalah Festival Film Asia-Afrika (FFAA) menjadi wadah berkumpulnya para pekerja film antar benua tersebut, dalam membahas nuansa baru perfilman, ditengah derasnya arus film Hollywood,. Sebenarnya yang pertama menjadi titik tolak adalah sebuah surat dari seorang anggota Gerwani (1955) yang mengeluhkan bahwa terjadi dekadensi moral di kalangan anak-anak akibat membanjirnya film cowboy, dansa-dansa, percintaan, sehingga berbanding lurus dengan mentalitas anak-anak di zaman tersebut. Bahkan, salah seorang pimpinan Pusat Lekra, Samandjaja, menyebut para pengedar dan yang bersetuju dengan film negative tersebut dan murahan itu sebagai “kaum iseng” yang melihat kebudayaan. Apalagi, Bachtiar Siagian menganalisis bahwa masuknya film-film Amerika sejka 1920 tak lain adalah membantu Belanda mengembangkan rasialisme di Indonesia. Sejak itu pula, Belanda mengizinkan pedagang-pedagang Tionghoa untuk memasukkan film-filmyang bersifat takhayul dari Tiongkok dengan maksud dan tujuan untuk membenamkan Indonesia dalam mistik.
Di samping itu, rekomendasi politik dari Panitia Sensor Film, 1 April 1961 menjadi tenaga tambahan bagi terlibatnya apparatus Negara dalam membersihkan film-film berbau imperialisme, begini salah satu kutipan pasalnya:

Film yang boleh dilepaskan untuk dipertunjukkan kepada umum ialah film yang
1.       Tidak melanggar kesusilaan dan/atau perasaan umum
2.       Tidak mengganggu ketentraman/ketertiban umum
3.       Cukup pantas dan/atau tidak memberi pengaruh buruk kepada masyarakat
4.       Tidak bertentangan dengan melanggar cita-cita kenegaraan dan kemasyakaratan kita, atau cita-cita politis-sosial-ekonomi dan kebudayaan kita.
Film, baik yang dibuat oleh perusahaan luar negeri dan perusahaan dalam negeri, harus ditolak jika berisikan unsur-unsur atau mengandung tema sebagai berikut:

Dalam poin politik disebutkan antara lain:

1.       Apa yang menghina atau menertawakan bangsa Kulit Berwarna pada umumnya
2.       Apa yang dengan langsung atau tidak langsung membenarkan kapitalisme, imperialism, dan kolonialisme
3.       Apa yang menganggu cita-cita persaudaraan antara Bangsa Asia dan Afrika
4.       Apa yang mengganggu cita-cita bangsa Indonesia akan persahabatan dan perdamaian antara bangsa-bangsa seluruh dunia
…..

Walhasil, episode berikutnya adalah tahun pembabatan bagi film-film kaum imperialis (AS dan Inggris). Menurut, Ny Utami Suryadarma, misalnya kurun antara tahun 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Lalu seterusnya Jepang (59), India (30), Italia (25), RRT (25), Pakistan (24), Inggris (20), Hong Kong (15), Uni Sovyet (10), Singapura (5), Jerman Barat (2), Prancis (1), Lebanon (1), RDR Korea Utara (1). Salah satu film yang kena gebuk yaitu The Desert Fox, produksi AS, namun film-film yang mendapat apresiasi tinggi dari HR. Bandaharo yaitu Bunga Merah dan Penenun, produksi Korea Utara, ditambah lagi analis dari Bachtiar Siagian tentang film Di Persimpangan Jalan (1937),Dahan Kering Menemui Musim Semi (1961), Bagaikan Air Sungai Musim Semi Mengalir ke Timur(1942), produksi RR Tiongkok.
Akhirnya, artikulasi keluhan dan kristalisasi kecaman bagi film imperialism tersebut membentuk FFAA I di Tashkent/1958, FFAA II di Kairo/1960. Berikutnya, Jakarta menjadi panggung bagi berlaganya FFAA III, yang dihelat tanggal 19 April 1964. Dengan pidato pembukaan dari Bung Karno, yang mengatakan

“Jika kita mau mengancurkan imperialism, kolonialisme, dan neokolonialisme, maka adalah keharusan bahwa Asia-Afrika-Amerika Latin bersatu, bahwa Nefo harus bersatu, barulah dapat menyusun suatu Dunia Baru tanpa pengisapan atas manusia oleh manusia. Seorang yang menamakan dirinya revolusioner tapi tidak mecari kesetiakawanan KAA maka ia adalah revolusioner palsu…Film sering dipakai untuk tujuan politik-politik yang tidak baik. Contoh, film AS ‘The Broken Arrow’ dimana percintaan antara perwira kulit putih dan gadis Indian, kekasihnya tidak diberi suatu ‘happy ending’ karena produsernya takut bahwa jika filmnya berakhir dengan perkawinan antara seorang kulit putih dan seorang kulit berwarna, maka film itu akan diboikot di AS bagian selatan. Jadi tujuannya mencari duwit !!!”

Bagi, Joebaar Ajoeb sendiri berpandangan bahwa hubungan antara FFAA dengan politik perjuangan Asia-Afrika di tengah sikap inferioritas seniman pekerja-pekerja film dan bahkan politikus-politikusnya,sehingga dalam FFAA ini nilai artistic dan ideology dipadukan. Hal ini semakin diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum Komnas FFAA dan Ketua Delegasi Indonesia Ny. Utami Suryadarma yang memaparkan bahwa:

            “Jadi film-film yang akan difestivalkan juga tidak boleh menyimpang dari itu (Semangat Bandung=Dasasila Bandung). Tegas ditolak film-film yang isinya mempropagandakan politik imperialism-kolonialisme lama dan baru, politik agresi, diskriminasi rasial, kebejatan moral, menghina Rakyat Asia-Afrika dan yang bertentangan dengan solidariteit Rakyat-Rakyat Asia-Afrika”

            Jenis film yang difestivalkan antara lainfilm bergenre cerita, film anak-anak, film documenter. Rentang waktu pembuatan film itu ialah hasil produksi sesudah FFAA II. Setiap Negara mengikutkan 3 film. Adapun juri untuk festival ini berjumlah 15 orang:6 dari Asia, 6 dari Afrika, dan 3 dari Indonesia. Para juri terdiri dari sutradara, kritikus film, dan ahli perfilman. Ada dua macam hadiah ayng diperebutkan peserta. Pertama ‘Bandung Award’(Hadiah Bandung) yang disediakan untuk 7 buah film cerita, anak-anak, dan documenter. Kedua,’Lumumba Award’ yang disediakan untuk penulisan scenario, penyutradaraan, actor, aktris, fotografi, music, dan art designing.Festival ini diikuti 27 negara Asia dan Afrika, antara lain sebagai berikut:
               
ASIA: RDR Korea Utara, Mongolia, RRT/China, Jepang, Uni Soviet, Republik Demokrasi Vietnam, FNP Vietnam Selatan, Nepal, India, Srilangka, Pakistan, NKKU,
                AFRIKA:Republik Persatuan Arab, Lebanon, Tunisia, Rodesia Utara, Rodesia Selatan, Afrika Barat Laut, Kongo, Somalia, Mali, Irak, Zanzibar, Aljazair, Sudan, Ghana.

            Menariknya, pasca event FFAA III itulah, para seniman dan pekerja film Indonesia menyatakan ikrar yang salah satu bunyinya adalah 30 April sebagai Hari Film Nasional. Begini bunyinya:

Ikrar Seniman dan Pekerja Film Indonesia Setelah FFAA
KAMI, seniman-seniman dan pekerja-pekerja film Indonesia yang ambil bagian aktif dalam FFAA III, pada kesempatan yang bersejarah dilangsungkannya FFAA III di ibukota RI ini, memperbarui kebulatan tekad kami untuk ikut menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi 1945 dan mengabdikan segala bakat dan kecakapan kami untuk tujuan mulia ini.
Sesuai dengan filsafat Bung Karno, menjebol dan membangun, kami bertekad untuk menjebol dominasi imperialis dalam kehidupan kebudayaan di Indonesia terutama dominasi imperialis dibidang film. Kami menyadari keharusan ini sebagai syarat mutlak untuk pembangunan perfilman nasional yang sehat, patriotik, dan demokratik.
Kami tanpa cadangan apapun berjanji akan melaksanakan garis Manipol dibidang kebudayaan, yaitu melawan kebudayaan imperialis, memisahkan kawan dan lawan, mengkonsentrasikan semua potensi nasional, dan menyelesaikan revolusi tahap nasional, demokratis, menuju sosialisme Indonesia.
Kami berketetapan hati untuk meneruskan perjuangan melawan phobia-phobia-an, Manikebu-Manikebu-an, terutama dibidang film, dan kami dalam semangat kompetisi nasional berjiwa Pancasila dan manipol akan berlomba-lomba untuk membuat film yang sebaik-sebaiknya yang memuhi harapan sokoguru-sokoguru revolusi dan harapan rakyat seluruhnya.
Kami sepakat untuk menjadikan 30 April sebagai Hari Film Nasional.

Jakarta, 30 April 1964
Seniman-seniman dan pekerja-pekerja film dalam FFAA III

            Dampak dari adanya pentas FFAA III adalah ‘pembenaran’ bagi sejumlah aksi pemboikotan film-film AS yang dinilai sebagai dalang dari dekadensi moral, dan tentunya idiom-idiom kontarevolusi, penggunaan kata ‘ganyang’, sekaligus sentiment siapa “kulit berwarna’ dan siapa ‘kulit putih’ turut menghiasi (sampai pada akhirnya The Beatles sebagai perwakilan music ngak-ngik-ngok ikut digusur), dan pada fase inilah PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat) mengambil bagian dari aksi menetralisir seluruh film AS yang direpresentasikan sebagai kekuatan imperialis.
Akhirnya, dari catatan sejarah itulah bisa kita lihat bahwasanya penegasan garis politik film menjadi refleksi ulang dalam melihat kondisi perfilman Indonesia saat ini (saya sendiri enggan menyebutkan kritiknya secara mendetail, saya tahu apa saja buntelan grundel dalam hati kawan-kawan saat melihat perfilman Indonesia T_T), hingga terkadang ibu-ibu harus turun ke jalan untuk memprotes sebuah rumah perfilman sebab film-film yang diproduksinya sangat berbahaya bagi keluarganya. Saya pernah menemukan sebuah lelucon satir, bahwa ternyata jauh sebelum MUI (sok) khawatir dengan keadaan moralitas bangsa dan kritikus film angkat bicara tentang film yang miskin artistic (apalagi ideology) serta cenderung pada ranah komersialisme. Ternyata, di tahun 1960-an, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut sudah dimulai dan berbentuk aksi pemboikotan yang didukung kesadaran penuh dari seluruh actor Negara-bangsa untuk melihat film sebagai bagian dari politik sekaligus solidaritas Asia-Afrika…

Uhuru !!! Salam…J

HKW, Magetan. 7/7/2011

Sumber:
Untuk dokumentasi foto, silahkan lihat FotoHistoria, Institut Sejarah Sosial Indonesia, koleksi bung Oey Hay Djoen, foto Festival Film Asia-Afrika 1964.
Seluruh dokumen Harian Rakyat dari tahun 1955-1965 yang dirangkum dalam “Lekra tidak membakar buku”, karya Muhidin Dahlan, Rhoma Dwi Ari Yuliantri, Yogyakarta:MeraKesumba

gemamusik

MUSIK dan Ideologi
22 Oktober, Sabtu, Karat di Kolaborasi Sarasvati dan Keenan Nasution, Djakarta Artmosphere  
           “Pagi yang cerah di hari Sabtu. Jam setengah enam, awak sarasvati dan karat tampak sudah bersiap-siap di Common Room. Pun bus biru yang akan mengantar rombongan ke Jakarta sudah siap tersedia di halaman Common Room. Semua tampak bersemangat sekali pagi itu, termasuk Jimbot yang masih hangover akibat malamnya makan gelas dan keran air hehehe… Jam tujuh pagi, rombongan berangkat dari Common Room menuju Jakarta. Syananana…”
“Sampai di Jakarta jam sepuluh pagi, bus langsung parker di halaman belakang Gedung Tennis Indoor Senayan.crew dan personil bahu membahu langsng mengankut alat-alat music dan segera memersiapkannya untuk cek tata suara. Jadwalnya jam sepuluh, namun ternyata masih ada The Brandals yang melakukan cek tata suara di atas panggung. Sambil menunggu, beberapa sarapan dulu di kios sekitar Tennis Indoor. Jimbot sudah bangun dan dengan malas ia minum susu dan makan Pop Mie.”
Kolaborasi band sarasvati dengan keenan nation dalam Djakarta artmosphere ini menggemakan antara music dan ideologi. Memang jarang sekali kita mendengar antara music menggabungkan ideology yang sangat sekali jarang di dengar. Konser yang di selenggarakan ini menggabungkan music modern dengan music etnik ala berbau sunda, Bisa dibilang music yang beransemenkan etnik di dengar di tahun 70an dengan group band tony scott and Indonesian all star jazz, krakatau dan karimata.
Kalau di lihat dari sejarah music tradisional Indonesia sangatlah beragam dengan aspek fisik yang berbeda dalam nada,rhythm,counter,internal dan tempo. Dalam setiap musik etnis memiliki ukuranukuran keindahan sendirisendiri, maka Irwansyah Harahap menulis sebagai berikut: " 1. Musik hanya bisa dipahami berdasarkan konteks cultural dimana musik itu berada; 2.Musik tidak dapat diberi nilai baik atau buruk, karena masing-masing masyarakat memiliki kaedah estetis maupun etis tersendiri terhadap musiknya; ° (Harahap, 2001: 3)[i]. Kriteria keindahan dan kebermaknaan musik berdasarkan pandangan masyarakat pemilik kebudayaan itu, paradigma dalam memberikan arti keindahan melekat pads konteks budaya etniknya. Nilai-nilai etis dan estetis kebudayaan masyarakat Barat akan berbeda dengan masyarakat Timer demikian pula dalam hal musik yang merupakan salah sate unsur dari kebudayaan.
Musik sering memiliki hubungan fungsional dengan totalitas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakatnya. Musik dapat dikaji melalui peranannya dalam upacara yang profan maupun sakral. Kajian fungsi musik dalam upacara profan adalah musik yang dipergunakan untuk acara hiburan dimana peran music tersebut lebih menekankan unsur keduniawian. Sedangkan upacara sakral lebih ditekankan pada unsur religi, hubungannya dengan Tuhan, arwah nenek moyang, dewa-dewa maupun roh-roh yang dianggap memiliki kekuatan gaib tergantung pada cara pandang masyarakatnya, suku atau etnis tertentu.
Dalam perjalanan music tradisional kita memiliki perjalanan yang luas hingga ke benua afrika itu terbukti pada awal abad ke 20,Erich von fornbostel menyetel empat xilifon atau gambang dari afrika dan empat dari Birma. Ternyata keduanya memiliki kemiripan yang luar biasa.
Kemudian, pada 1935, Jaap Kursnt, seorang etnomusikolog sekaligus curator Museum Nasional di Jakarta, melakukan pengamatan :”Di luar kepulauan Malaya, hanya ada satu wilayah,selain Amerika tengah, tempat alat music dengan tipe seperti itu muncul. Wilayah itu adalah Afrika”.Kusnt, speri pendahulunya, hornbostel, membandngkan setelan suara dan skala alat music dari Afrika dan Indonesia tersebut. Dan ia menemukan kesamaan antara keduanya, Kesimpulannya sangat tegas :”………alat music tu berasal dari jawa,lalu masuk ke benua Afrika….”[ii]. Alat music xilofon atau gambang banyak sekali ditemukan disepanjang linatasan wilayah sub-sahara dari Gambia menuju Danau vistoria melintasi kongo bagian selatan dan wilayah-wilayah Afrika Selatan dan Mozambik.Salah satu yang memiliki persamaan antara lain Mandinka di Afrika sedangkan di Indonesia yaitu kulintang, Nyangwe di Ghana sedangkan di Indonesia yaitu angklung. Sedangkan jenis Gong yang dimainkan di Bamumbu ditemukan di seluruh wilayah Afrika sebelah barat, dan sekitar selusin di anataranya di gali oleh para arkeolog di Great Zimbabwe maupun wilayah sekitarnya. Terdapat relief pada candi Borobudur yang menggambarkan 3 macam alat music gambang (xilofon) yang dimainkan oleh seseorang yang duduk di hadapan alat music tersebut seperti kadang-kadang dilakukan oleh pemusik Afrika : seseorang memuku gong ketuk Indonesia dan yang ketiga adalah genta pukul dengan pegangan melengkung yang mengingatka kita pada genta-genta Afrika.
Wah sungguh luar biasa sekali penyebaran music tradisional bisa menggema hingga ke benua afrika walaupun itu sudah menjadi identitas dari masing-masing Negara Afrika. Kekayaan budaya musik etnik bangsa Indonesia sebegitu besar namun selama uu masih belum belum banyak dimanfaatkan dalam pembelajaran seni musik di Indonesia, padahal nilai-nilai budaya sendiri khususnya musik etnik nusantara tak kalah pentingnya dengan budaya musik Barat.
Pada Tahun 1960an sedang gempar-gempar nya music barat tetapi untuk mengimbangi music Indonesia agar tidak luntur dipelopori oleh Jack lemmers atau Jack Lesmana Nama Lesmana justru diberikan oleh Bung Karno, proklamator dan presiden pertama negeri ini. Tak hanya itu, hubungan antara Bung Karno dan Jack Lesmana bahkan bisa disebut dekat. Apalagi pada saat itu Bung Karno tengah gencar-gencarnya mengganyang musik ngak-ngik-ngok yang dianggap produk Barat yang dekaden. Gerakan budaya yang digencarkan Bung Karno adalah menggiatkan musik yang dianggap mewakili tata krama budaya Timur yaitu irama lenso sesuai dengan cita-cita nya berdiri di kaki sendiri dalam budaya.
Jack Lesmana pun menafsirkan dan memainkan irama lenso itu bersama kelompok yang dipimpinnya saat itu, yakni Orkes Irama. Kelompok yang juga didukung Mas Yos, pemilik perusahaan rekaman Irama Records ini, lalu merilis album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso pada dasawarsa 60-an untuk mengimbangi derasnya budaya Barat yang diwakili musik rockn'roll itu. Di album itu Orkes Irama mengiringi penyanyi top saat itu, seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, Lilis Surjani, serta Nien Lesmana, adik kandung Mas Yos yang juga istri Jack Lesmana. Ternyata pemusik Indonesia bisa menyaingi dunia luar dengan bergabungnya Indonesian all star jazz dengan peniup saxophone asal Amerika yaitu Tony scott dengan membawakan lagu Djanger bali, gambang suling, ilir-ilir, dan burung kakak tua.
Dan sekarang mulai di rintis kembali music pop bergaya etnik sunda yang di pelopori oleh katjie&piering dan sarasvati yang menggemparkan bumi sangkuriang sehingga terasa mendengarnya kembali dizaman kejayaan music lenso ditahun 60an. Dibandingkan sekarang kita hanya mendengarkan music yang hanya melihat nilai pasar saja atau mengikut trend sekarang. Dengan bergaya rambut pirang berkelompok yang menyanyikan bahasa import yang menari di atas panggung sungguh bisa dibilang music itu tidak terkandung nilai ke-indonesia-an tetapi melihat dunia barat saja.Yang harus dilakukan sekarang yaitu mengangkat lagi music-musik tradisional Indonesia dikalangan pemuda sekarang sehingga pas waktu lahir kita diberi lagu sm*sh tetapi lagu yang sekira nya mempunyai nilai kearifan.

TPS, di kontrakan teman tercinta,Jember, Jawa Timur 24/11/11
Sumber dari


[i] Harahap, Irwansyah. 2000. Etnomusikologi. Diktat Pelatihan Produksi Siaran Musik Etnik di Radio

[ii]  A.M Jones.”Afrika and Indonesia”,Leiden.1971

Baca dari,  Dick Read.Robert.2008.Bukti-bukti muktahir tentang penjelahan pelaut Indonesia abad ke 5 jauh sebelum cheng ho dan Columbus,”Pengaruh peradaban Nusantara di Afrika”.Ujungberung,Bandung.PT Mizan Pustaka.

jurnal karat 23 92, 28 oktober 2011, sarasvati, keenan nasution, ayu laksmi, ariel peterpan, ideologi musik, the great beast, dan disko pemberontakan! « we're different cuz we play free!.html

Senin, 14 November 2011

mem-pancasilakan teknologi informasi


Mem-Pancasila-kan Teknologi Indonesia

Indonesia atas keanekaragaman budaya yang multi etnis, sangat kaya dan sangat bervariatif, ini dapat dilihat dari kacamata pandang geografis dan demografis. Dari sudut Geografis Indonesia adalah daerah tropis yang subur terdapat beberbagai jenis agrikultur, bahkan mencapai jutaan varian, suatu keajaiban tanah, sawah dan ladang, bahkan kata Koes Plus, tongkat pun kalau ditanam akan jadi tanaman, menggambarkan kesuburan tanah Indonesia. Dan ini mempengaruhi kultur daerah diantara daerah-daerah yang lain. Dari sisi Demografis Indonesia terdiri dari multi etnis, sebagai perwujudan dari lukisan alam di berbagai pelosok seantero Indonesia. Dari ke semuanya itu, Indonesia berdiri dalam suatu keutuhan. Menjadi kesatuan dan bersatu di dalam persatuan yang kokoh di bawah naungan Pancasila dan semboyannya, Bhinneka Tunggal Ika.
Di dalam Pancasila terkandung banyak nilai di mana dari keseluruhan nilai tersebut terkandung di dalam lima garis besar dalam kehidupan berbangsa negara. Perjuangan dalam memperebutkan kemerdekaan tak jua lepas dari nilai Pancasila. Sejak zaman penjajahan hingga sekarang, kita selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Memang sebelum proklamasi kemerdekaan unsur-unsur yang terdapat didalam Pancasila telah kita miliki, telah kita amalkan didalam adat-istiadat kita, didalam kebudayaan kita dalam arti luas,didalam agama-agama kita. Sungguh ketika belum, bernegara Republik Indonesia yang kita proklamasikan, bangsa kita sudah ber’Pancasila”. Bagaimanapun juga beraneka rupa keadaan-keadaan pada suku-suku bangsa, dalam adat istiadat, dalam hal kebudayaan dalam arti luas, dalam hal keagamaan, namun didalamnya terdapat kesamaan unsur-unsur tertentu.[i] Unsur-unsur yang terdapat dalam Pancasila sudah terdapat sebagai asas-asas dalam adat-istiadat kita, kebudayaan kita, sudah terdapat sebagai asas kenegaraan kita.
Dengan demikian banyak sedikit dapat diistilahkan, bahwa kita ber-“pancasila” dalam tri-prakara, dalam tiga jenis, yang bersama-sama kita miliki, maka tidak ada pertentangan antara Pancasila Negara,”Pancasila”-adat-kebudayaan dan “Pancasila”-religius. Ketiganya saling memperkuat satu sama lainnya.  Negara ber-pancasila berarti memperkuat dan memperkembangkan bangsa indonesia, bangsa indonesia bersama agama dan berkebudayaan, sedangkan beragama dan berkebudayaan berarti memperkuat memperkuat dan memperkembangkan nilai-nilai dari Pancasila Negara. Tidak jauh dari hal itu, Pancasila membuat bangsa Indonesia tetap teguh dan bersatu di dalam keberagaman budaya dan menjadikan Pancasila sebagai dasar kebudayaan yang menyatukan budaya satu dengan yang lain. Karena ikatan yang satu itulah, Pancasila menjadi inspirasi berbagai macam kebudayaan yang ada di Indonesia.
Jika perilaku itu adalah merupakan perbuatan/tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya maka disitu akan timbul sebuah nilai-nilai yang sangat penting yaitu budaya. Manusia diciptakan rasa dan karsa untuk membuat dirinya terus berkarya dan hidup mandiri dalam mengembangkan pola pikirnya. Masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini tengah membangun dan akan terus membangun serta berusaha menyamakan tingkat perkembangannya dengan bangsa yang maju lainnya di dunia ini. Bangsa Indonesia kini tengah berada di arus perkembangan yang sangat pesat dari segala aspek kehidupan mulai dari teknologi, informasi dan ilmu pengetahuan. Walaupun di tengah arus perkembangan ini toh hampir di seluruh pelosok tanah air baik mereka yang berada di pedesaan maupuan berada di tengah kota besar masih terlihat dengan jelas bahwa banyak masyarakat Indonesia masih sangat kuat berpegang pada adat kebiasaan serta mentalis para leluhur mereka.[ii]
 Bagi kebanyakan orang Indonesia tujuan hidup adalah kesatuan dengan seluruh kosmos yang dilihatnya sebagai subjek yang secara analogis mempunyai kepribadian seperti dirinya, suatu daya kekuatan dan yang tidak boleh ditaklukan demi kepentingan manusia. Seluruh kosmos perlu dijaga dan dilindungi sedemikian rupa sehingga adanya kesatuan dan keharmonisan dengan manusia.[iii]  Dalam sejarah perkembangan bangsa indonesia ditemukan beberapa pengaruh dasar penting dan secara jelas menunjukkan identitas dan kualitas dari masyarakat indonesia itu sendiri yang berbeda dari bangsa lain seperti contoh gotong royong, tepo seliro dan saling menghormati satu sama yang lainnya. Seperti yang diucapkan dalam pidato Ir. Soekarno:
“Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, b e r s a m a- s a m a ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g a t semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!”(soekarno, pidato lahirnya pancasila 1 Juni 1945)
Dalam hubungan sosial dengan orang lain, perlu sekali tercipta keharmonisan yang dapat direalisasi lewat korelasi, gotong royong solidaritas, musyawarah serta saling pengertian yang mendalam. Hal-hal tersebut merupakan ciri khas kepribadian manusia indonesia dengan solidaritas yang kuat dan tidak terbatas pada keluarga, lingkungan melainkan mencakup masyarakat luas dari berbagai  golongan, maka keharmonisan dan ketentraman dapat direalisasikan. Rasa solidaritas manusia Indonesia tidak dapat diragukan dalam arti bahwa relasi antara individu-individu tidak hanya terikat pada lingkungan yang sempit tetapi justru meluas. Hal ini terasa sangat kuat hingga dewasa ini[iv].
 Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini kadang kita menjadi sikap yang sangat acuh atau individual  tidak memikirkan yang lain baik orang lain dan alam sekitar kita sehingga tidak terjadi keharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, manusia dengan tuhan. Pembangunan karakter bangsa yang sudah diupayakan dengan berbagai bentuk, hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal. Dengan terjadinya pelapisan sosial, maka dapat diharapkan bahwa lapisan ataslah yang mempunyai kewenangan besar, tetapi juga tanggung jawab terberat untuk mempertahankan kebudayaannya, Namun hal ini tidaklah berarti bahwa lapisanm-lapisan masyarakat laintidak memiliki kebebasan dan kemandiriannya tersendiri dalam upaya pengembangan kebudayaan[v].
Dalam banyak kasus kenegaraan, pelapisan sosial tidaklah amat ketat karena di dalamnya dimungkinkan terjadinya mobilitas sosial vertikal. Dalam hal itu, yang tampak lebih menonjol adalah adanya kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang didasarkan pada jenis-jenis pekerjaan atau aktivitas yang secara umum dilakukan di dalamnya.
Lapisan-lapisan ataupun kelompok-kelompok kemasyarakatan itu, pada umumnya dapat dikenali melalui penanda-penanda budaya yang sengaja diciptakan sebagai sarana identitas. Contoh yang paling nyata adalah dalam hal busana. Sehingga dalam transformasi era globalisasi ini masih banyak kalangan yang belum siap menerima perubahan baik dalam bidang teknologi,gaya hidup maupun informasi sehingga banyak sekali dampak negatif yang didalami oleh bangsa ini seperti pergaulan bebas dan pornografi dikalangan remaja mungkin efek dari pemanasan global seperti orang bilang di tahun 1900an manusia lebih senang memakai pakaian tertutup dikarenakan cuaca yang dingin kemudian ditahun millenium ini banyak sekali manusia memakai pakaian terbuka yang dibilang bahwa cuaca sekarang ini sangatlah panas.
Di dunia informatika ini banyak sekali permainan yang dibilang membuat manusia menjadi individu dan semuanya dapat di kerjakan dengan praktis yang membuat otak kita seakan-akan berkarya dengan sendirinya padahal semua itu dibilang otak digital yang serba instan atau dibilang copypaste sehingga dalam dunia pendidikan ini bukannya kita menjadi akademik yang bisa membuat karyanya sendiri tapi merangkai karyanya orang lain.Sedangkan didalam bidang media informasi sendiri saat ini semua media tradisional di Indonesia sedang berlomba membuat versi online seiring dengan perkembangan jumlah pemakai internet di Indonesia, dimana saat ini sudah mencapai 25% dari total penduduk Indonesia (Tempo, edisi 5 April 2009).
Artinya Masyarakat Indonesia ini lebih senang menggunakan media informasi berbentuk online dibandingkan media baca seperti koran ataupun buku-buku yang menambah pengetahuan belum lagi dalam media online ini bisa mempengaruhi komunikasi dan permainan yang dibilang nge trend atau orang bilang tidak ketinggalan zaman. Belum lagi kasus yang menimpa para pemimpin kita ketika mengikuti rapat di dewan pimpinan malah mengunduh video yang tidak sepantasnya di unduh. Dilihat dari pemimpin saja sudah tidak memberikan moral yang baik kepada publik bagaimana dengan generasi mudanya mungkin banyak sekali yang tidak lebih pantas dari pemimpin itu. 
senang mengabadikan tubuh yang tak berhalang
padahal hanya iseng belaka
ketika birahi yang juara
etika menguap entah kemana 
               (lagu Efek Rumah Kaca,Kenakalan Remaja DI Era Informatika)
Sebait lagu ini menceritakan gejala-gejala dari dunia informatika Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Balik lagi kenilai-nilai budaya yang dimiliki indonesia yang membentuk kolektiv serta membangun jiwa kebersamaan dari setiap generasi pemuda kita yaitu foklor dan permainan tradisional anak. Foklor adalah bagian dari kebudayaan dari berbagai kolektif di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, yang disebarkan turun-temurun di antara kolektif-kolektif yang bersangkutan, baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat/mnemonic devices[vi].Foklor dapat berupa ungkapan bahasa,cerita rakyat, kepercayan rakyat,teka-teki, musik rakyat hingga permainan rakyat atau yang disebut dengan permainan tradisional.
Permainan tradisional merupakan merupakan kekayaan budaya bangsa yang mempunyai nilai-nilai luhur untuk dapat diwariskan kepada anak-anak sebagai generasi penerus. Permainan anak tradisional merupakan permainan yang mengandung wisdom, yang memberi manfaat dalam perkembangan anak yang mempunyai hubungan erat dengan perkembangan intelektual,sosial,emosi,dan kepribadian anak. Seperti contoh permainan aktivitas yaitu engklek, lompat tali, permainan lompat karet,dan sebagainya. Walaupun permainan ini hanya sebatas lelucon praktis tapu memiliki sejarah yang panjang dan tak pernah dilupakan pada kalangan anak kecil hingga dewasa. Inilah yang harus dibangun oleh bangsa Indonesia terutama untuk generasi pemudanya supaya membangun solidaritas yang hanya dibangun oleh permainan anak-anak sehingga ketika menghadapi era informatika yang modern tidak menjadi culture shock yang hanya bisa mengikuti perkembangan informatika saja tetapi tidak lupa dengan karakter bangsa kita ini.
Gaya hidup yang diajarkan oleh media massa tersebut membuat kita semakin terkikis dengan jati diri bangsa ini yang menganut pada pancasila, coba kita melihat kepada sila kedua pancasia, disitu tertulis mengenai kemanusiaan yang adil dan beradaab. Ya,kemanusiaan yang adil dan beradab akan tetapi lihatlah sekarang. Seiring perkembangan jaman apakah kita menjadi manusia yang beradab. .??? ataukah kita menjadi manusia yang biadab tanpa ada lagi rasa memiliki Indonesia dan menjadikan kita semakin terpecah belah satu sama lainnya. Sikap primordialisme semakin menguat seiring dengan perubahan jaman menjadikan perpecahan dalam bangsa ini.
Marilah kita berbenah mengenai masalah pelik yang melanda Indonesia untuk menjaga integrasi dari Indonesia yang sedang sekarat menjaga keutuhan persatuan dan kesatuannya menuju Negara maju.

Catatan kaki


[i] Prof. Dr. Mr. Drs Notonagoro.1987. Pancasila secara ilmiah populer.Jakarta Pusat. Bumi Aksara
[ii]Dr. Ozias, Fernandez  Stephanus.1990. Citra Manusia Budaya Timur dan Barat .Flores.Nusa Indah.
[iii] Notohamidjojo,O. 1974. Attitude dalam Pembangunan. Jakarta Pusat. BPK Gunung mulia.
`[iv] Koentjaraningrat.1974:103-106. Kebudayaan.Mentalit dan pembangunan.Jakarta.PT Gramedia,
[v].Sedywati, edy. 2006. Budaya Indonesia.Kajian arkeolog,seni, dan sejarah. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
[vi] Danandjaja, J.1986. Foklor Indonesia: Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta.PT.Grafitipers.


Trenggono Pujo Sakti & Rinno Widodo