Jumat, 25 November 2011

gemamusik

MUSIK dan Ideologi
22 Oktober, Sabtu, Karat di Kolaborasi Sarasvati dan Keenan Nasution, Djakarta Artmosphere  
           “Pagi yang cerah di hari Sabtu. Jam setengah enam, awak sarasvati dan karat tampak sudah bersiap-siap di Common Room. Pun bus biru yang akan mengantar rombongan ke Jakarta sudah siap tersedia di halaman Common Room. Semua tampak bersemangat sekali pagi itu, termasuk Jimbot yang masih hangover akibat malamnya makan gelas dan keran air hehehe… Jam tujuh pagi, rombongan berangkat dari Common Room menuju Jakarta. Syananana…”
“Sampai di Jakarta jam sepuluh pagi, bus langsung parker di halaman belakang Gedung Tennis Indoor Senayan.crew dan personil bahu membahu langsng mengankut alat-alat music dan segera memersiapkannya untuk cek tata suara. Jadwalnya jam sepuluh, namun ternyata masih ada The Brandals yang melakukan cek tata suara di atas panggung. Sambil menunggu, beberapa sarapan dulu di kios sekitar Tennis Indoor. Jimbot sudah bangun dan dengan malas ia minum susu dan makan Pop Mie.”
Kolaborasi band sarasvati dengan keenan nation dalam Djakarta artmosphere ini menggemakan antara music dan ideologi. Memang jarang sekali kita mendengar antara music menggabungkan ideology yang sangat sekali jarang di dengar. Konser yang di selenggarakan ini menggabungkan music modern dengan music etnik ala berbau sunda, Bisa dibilang music yang beransemenkan etnik di dengar di tahun 70an dengan group band tony scott and Indonesian all star jazz, krakatau dan karimata.
Kalau di lihat dari sejarah music tradisional Indonesia sangatlah beragam dengan aspek fisik yang berbeda dalam nada,rhythm,counter,internal dan tempo. Dalam setiap musik etnis memiliki ukuranukuran keindahan sendirisendiri, maka Irwansyah Harahap menulis sebagai berikut: " 1. Musik hanya bisa dipahami berdasarkan konteks cultural dimana musik itu berada; 2.Musik tidak dapat diberi nilai baik atau buruk, karena masing-masing masyarakat memiliki kaedah estetis maupun etis tersendiri terhadap musiknya; ° (Harahap, 2001: 3)[i]. Kriteria keindahan dan kebermaknaan musik berdasarkan pandangan masyarakat pemilik kebudayaan itu, paradigma dalam memberikan arti keindahan melekat pads konteks budaya etniknya. Nilai-nilai etis dan estetis kebudayaan masyarakat Barat akan berbeda dengan masyarakat Timer demikian pula dalam hal musik yang merupakan salah sate unsur dari kebudayaan.
Musik sering memiliki hubungan fungsional dengan totalitas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakatnya. Musik dapat dikaji melalui peranannya dalam upacara yang profan maupun sakral. Kajian fungsi musik dalam upacara profan adalah musik yang dipergunakan untuk acara hiburan dimana peran music tersebut lebih menekankan unsur keduniawian. Sedangkan upacara sakral lebih ditekankan pada unsur religi, hubungannya dengan Tuhan, arwah nenek moyang, dewa-dewa maupun roh-roh yang dianggap memiliki kekuatan gaib tergantung pada cara pandang masyarakatnya, suku atau etnis tertentu.
Dalam perjalanan music tradisional kita memiliki perjalanan yang luas hingga ke benua afrika itu terbukti pada awal abad ke 20,Erich von fornbostel menyetel empat xilifon atau gambang dari afrika dan empat dari Birma. Ternyata keduanya memiliki kemiripan yang luar biasa.
Kemudian, pada 1935, Jaap Kursnt, seorang etnomusikolog sekaligus curator Museum Nasional di Jakarta, melakukan pengamatan :”Di luar kepulauan Malaya, hanya ada satu wilayah,selain Amerika tengah, tempat alat music dengan tipe seperti itu muncul. Wilayah itu adalah Afrika”.Kusnt, speri pendahulunya, hornbostel, membandngkan setelan suara dan skala alat music dari Afrika dan Indonesia tersebut. Dan ia menemukan kesamaan antara keduanya, Kesimpulannya sangat tegas :”………alat music tu berasal dari jawa,lalu masuk ke benua Afrika….”[ii]. Alat music xilofon atau gambang banyak sekali ditemukan disepanjang linatasan wilayah sub-sahara dari Gambia menuju Danau vistoria melintasi kongo bagian selatan dan wilayah-wilayah Afrika Selatan dan Mozambik.Salah satu yang memiliki persamaan antara lain Mandinka di Afrika sedangkan di Indonesia yaitu kulintang, Nyangwe di Ghana sedangkan di Indonesia yaitu angklung. Sedangkan jenis Gong yang dimainkan di Bamumbu ditemukan di seluruh wilayah Afrika sebelah barat, dan sekitar selusin di anataranya di gali oleh para arkeolog di Great Zimbabwe maupun wilayah sekitarnya. Terdapat relief pada candi Borobudur yang menggambarkan 3 macam alat music gambang (xilofon) yang dimainkan oleh seseorang yang duduk di hadapan alat music tersebut seperti kadang-kadang dilakukan oleh pemusik Afrika : seseorang memuku gong ketuk Indonesia dan yang ketiga adalah genta pukul dengan pegangan melengkung yang mengingatka kita pada genta-genta Afrika.
Wah sungguh luar biasa sekali penyebaran music tradisional bisa menggema hingga ke benua afrika walaupun itu sudah menjadi identitas dari masing-masing Negara Afrika. Kekayaan budaya musik etnik bangsa Indonesia sebegitu besar namun selama uu masih belum belum banyak dimanfaatkan dalam pembelajaran seni musik di Indonesia, padahal nilai-nilai budaya sendiri khususnya musik etnik nusantara tak kalah pentingnya dengan budaya musik Barat.
Pada Tahun 1960an sedang gempar-gempar nya music barat tetapi untuk mengimbangi music Indonesia agar tidak luntur dipelopori oleh Jack lemmers atau Jack Lesmana Nama Lesmana justru diberikan oleh Bung Karno, proklamator dan presiden pertama negeri ini. Tak hanya itu, hubungan antara Bung Karno dan Jack Lesmana bahkan bisa disebut dekat. Apalagi pada saat itu Bung Karno tengah gencar-gencarnya mengganyang musik ngak-ngik-ngok yang dianggap produk Barat yang dekaden. Gerakan budaya yang digencarkan Bung Karno adalah menggiatkan musik yang dianggap mewakili tata krama budaya Timur yaitu irama lenso sesuai dengan cita-cita nya berdiri di kaki sendiri dalam budaya.
Jack Lesmana pun menafsirkan dan memainkan irama lenso itu bersama kelompok yang dipimpinnya saat itu, yakni Orkes Irama. Kelompok yang juga didukung Mas Yos, pemilik perusahaan rekaman Irama Records ini, lalu merilis album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso pada dasawarsa 60-an untuk mengimbangi derasnya budaya Barat yang diwakili musik rockn'roll itu. Di album itu Orkes Irama mengiringi penyanyi top saat itu, seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, Lilis Surjani, serta Nien Lesmana, adik kandung Mas Yos yang juga istri Jack Lesmana. Ternyata pemusik Indonesia bisa menyaingi dunia luar dengan bergabungnya Indonesian all star jazz dengan peniup saxophone asal Amerika yaitu Tony scott dengan membawakan lagu Djanger bali, gambang suling, ilir-ilir, dan burung kakak tua.
Dan sekarang mulai di rintis kembali music pop bergaya etnik sunda yang di pelopori oleh katjie&piering dan sarasvati yang menggemparkan bumi sangkuriang sehingga terasa mendengarnya kembali dizaman kejayaan music lenso ditahun 60an. Dibandingkan sekarang kita hanya mendengarkan music yang hanya melihat nilai pasar saja atau mengikut trend sekarang. Dengan bergaya rambut pirang berkelompok yang menyanyikan bahasa import yang menari di atas panggung sungguh bisa dibilang music itu tidak terkandung nilai ke-indonesia-an tetapi melihat dunia barat saja.Yang harus dilakukan sekarang yaitu mengangkat lagi music-musik tradisional Indonesia dikalangan pemuda sekarang sehingga pas waktu lahir kita diberi lagu sm*sh tetapi lagu yang sekira nya mempunyai nilai kearifan.

TPS, di kontrakan teman tercinta,Jember, Jawa Timur 24/11/11
Sumber dari


[i] Harahap, Irwansyah. 2000. Etnomusikologi. Diktat Pelatihan Produksi Siaran Musik Etnik di Radio

[ii]  A.M Jones.”Afrika and Indonesia”,Leiden.1971

Baca dari,  Dick Read.Robert.2008.Bukti-bukti muktahir tentang penjelahan pelaut Indonesia abad ke 5 jauh sebelum cheng ho dan Columbus,”Pengaruh peradaban Nusantara di Afrika”.Ujungberung,Bandung.PT Mizan Pustaka.

jurnal karat 23 92, 28 oktober 2011, sarasvati, keenan nasution, ayu laksmi, ariel peterpan, ideologi musik, the great beast, dan disko pemberontakan! « we're different cuz we play free!.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar