MUSIK dan Ideologi
22 Oktober, Sabtu,
Karat di Kolaborasi Sarasvati dan Keenan Nasution, Djakarta Artmosphere
“Pagi
yang cerah di hari Sabtu. Jam setengah enam, awak sarasvati dan karat tampak
sudah bersiap-siap di Common Room. Pun bus biru yang akan mengantar rombongan
ke Jakarta sudah siap tersedia di halaman Common Room. Semua tampak bersemangat
sekali pagi itu, termasuk Jimbot yang masih hangover akibat malamnya makan
gelas dan keran air hehehe… Jam tujuh pagi, rombongan berangkat dari Common
Room menuju Jakarta. Syananana…”
“Sampai di Jakarta jam sepuluh
pagi, bus langsung parker di halaman belakang Gedung Tennis Indoor Senayan.crew
dan personil bahu membahu langsng mengankut alat-alat music dan segera
memersiapkannya untuk cek tata suara. Jadwalnya jam sepuluh, namun ternyata
masih ada The Brandals yang melakukan cek tata suara di atas panggung. Sambil
menunggu, beberapa sarapan dulu di kios sekitar Tennis Indoor. Jimbot sudah
bangun dan dengan malas ia minum susu dan makan Pop Mie.”
Kolaborasi band sarasvati dengan
keenan nation dalam Djakarta artmosphere ini menggemakan antara music dan
ideologi. Memang jarang sekali kita mendengar antara music menggabungkan
ideology yang sangat sekali jarang di dengar. Konser yang di selenggarakan ini
menggabungkan music modern dengan music etnik ala berbau sunda, Bisa dibilang music
yang beransemenkan etnik di dengar di tahun 70an dengan group band tony scott
and Indonesian all star jazz, krakatau dan karimata.
Kalau di lihat dari sejarah music
tradisional Indonesia sangatlah beragam dengan aspek fisik yang berbeda dalam
nada,rhythm,counter,internal dan tempo. Dalam
setiap musik etnis memiliki ukuranukuran keindahan sendirisendiri, maka
Irwansyah Harahap menulis sebagai berikut: " 1. Musik hanya bisa dipahami
berdasarkan konteks cultural dimana musik itu berada; 2.Musik tidak dapat
diberi nilai baik atau buruk, karena masing-masing masyarakat memiliki kaedah
estetis maupun etis tersendiri terhadap musiknya; ° (Harahap, 2001: 3)[i]. Kriteria
keindahan dan kebermaknaan musik berdasarkan pandangan masyarakat pemilik
kebudayaan itu, paradigma dalam memberikan arti keindahan melekat pads konteks
budaya etniknya. Nilai-nilai etis dan estetis kebudayaan masyarakat Barat akan
berbeda dengan masyarakat Timer demikian pula dalam hal musik yang merupakan
salah sate unsur dari kebudayaan.
Musik sering memiliki hubungan
fungsional dengan totalitas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakatnya. Musik
dapat dikaji melalui peranannya dalam upacara yang profan maupun sakral. Kajian
fungsi musik dalam upacara profan adalah musik yang dipergunakan untuk acara
hiburan dimana peran music tersebut lebih menekankan unsur keduniawian.
Sedangkan upacara sakral lebih ditekankan pada unsur religi, hubungannya dengan
Tuhan, arwah nenek moyang, dewa-dewa maupun roh-roh yang dianggap memiliki
kekuatan gaib tergantung pada cara pandang masyarakatnya, suku atau etnis
tertentu.
Dalam perjalanan music
tradisional kita memiliki perjalanan yang luas hingga ke benua afrika itu
terbukti pada awal abad ke 20,Erich von fornbostel menyetel empat xilifon atau
gambang dari afrika dan empat dari Birma. Ternyata keduanya memiliki kemiripan
yang luar biasa.
Kemudian, pada 1935, Jaap Kursnt,
seorang etnomusikolog sekaligus curator Museum Nasional di Jakarta, melakukan
pengamatan :”Di
luar kepulauan Malaya, hanya ada satu wilayah,selain Amerika tengah, tempat
alat music dengan tipe seperti itu muncul. Wilayah itu adalah Afrika”.Kusnt,
speri pendahulunya, hornbostel, membandngkan setelan suara dan skala alat music
dari Afrika dan Indonesia tersebut. Dan ia menemukan kesamaan antara keduanya,
Kesimpulannya sangat tegas :”………alat music tu berasal dari jawa,lalu masuk ke
benua Afrika….”[ii]. Alat music xilofon atau gambang
banyak sekali ditemukan disepanjang linatasan wilayah sub-sahara dari Gambia
menuju Danau vistoria melintasi kongo bagian selatan dan wilayah-wilayah Afrika
Selatan dan Mozambik.Salah satu yang memiliki persamaan antara lain Mandinka di
Afrika sedangkan di Indonesia yaitu kulintang, Nyangwe di Ghana sedangkan di
Indonesia yaitu angklung. Sedangkan jenis Gong yang dimainkan di Bamumbu
ditemukan di seluruh wilayah Afrika sebelah barat, dan sekitar selusin di
anataranya di gali oleh para arkeolog di Great Zimbabwe maupun wilayah
sekitarnya. Terdapat relief pada candi Borobudur yang menggambarkan 3 macam
alat music gambang (xilofon) yang dimainkan oleh seseorang yang duduk di
hadapan alat music tersebut seperti kadang-kadang dilakukan oleh pemusik Afrika
: seseorang memuku gong ketuk Indonesia dan yang ketiga adalah genta pukul
dengan pegangan melengkung yang mengingatka kita pada genta-genta Afrika.
Wah sungguh luar biasa sekali
penyebaran music tradisional bisa menggema hingga ke benua afrika walaupun itu
sudah menjadi identitas dari masing-masing Negara Afrika. Kekayaan budaya musik etnik
bangsa Indonesia sebegitu besar namun selama uu masih belum belum banyak
dimanfaatkan dalam pembelajaran seni musik di Indonesia, padahal nilai-nilai
budaya sendiri khususnya musik etnik nusantara tak kalah pentingnya dengan budaya
musik Barat.
Pada Tahun 1960an sedang
gempar-gempar nya music barat tetapi untuk mengimbangi music Indonesia agar tidak
luntur dipelopori oleh Jack lemmers atau Jack Lesmana Nama Lesmana justru
diberikan oleh Bung Karno, proklamator dan presiden pertama negeri ini. Tak
hanya itu, hubungan antara Bung Karno dan Jack Lesmana bahkan bisa disebut
dekat. Apalagi pada saat itu Bung Karno tengah gencar-gencarnya mengganyang
musik ngak-ngik-ngok yang dianggap produk Barat yang dekaden. Gerakan budaya
yang digencarkan Bung Karno adalah menggiatkan musik yang dianggap mewakili
tata krama budaya Timur yaitu irama lenso sesuai dengan cita-cita nya berdiri
di kaki sendiri dalam budaya.
Jack Lesmana pun menafsirkan dan
memainkan irama lenso itu bersama kelompok yang dipimpinnya saat itu, yakni
Orkes Irama. Kelompok yang juga didukung Mas Yos, pemilik perusahaan rekaman
Irama Records ini, lalu merilis album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso pada
dasawarsa 60-an untuk mengimbangi derasnya budaya Barat yang diwakili musik
rockn'roll itu. Di album itu Orkes Irama mengiringi penyanyi top saat itu,
seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, Lilis Surjani, serta Nien Lesmana, adik
kandung Mas Yos yang juga istri Jack Lesmana. Ternyata pemusik Indonesia bisa
menyaingi dunia luar dengan bergabungnya Indonesian all star jazz dengan peniup
saxophone asal Amerika yaitu Tony scott dengan membawakan lagu Djanger bali,
gambang suling, ilir-ilir, dan burung kakak tua.
Dan sekarang mulai di rintis
kembali music pop bergaya etnik sunda yang di pelopori oleh katjie&piering
dan sarasvati yang menggemparkan bumi sangkuriang sehingga terasa mendengarnya
kembali dizaman kejayaan music lenso ditahun 60an. Dibandingkan sekarang kita
hanya mendengarkan music yang hanya melihat nilai pasar saja atau mengikut
trend sekarang. Dengan bergaya rambut pirang berkelompok yang menyanyikan
bahasa import yang menari di atas panggung sungguh bisa dibilang music itu
tidak terkandung nilai ke-indonesia-an tetapi melihat dunia barat saja.Yang
harus dilakukan sekarang yaitu mengangkat lagi music-musik tradisional
Indonesia dikalangan pemuda sekarang sehingga pas waktu lahir kita diberi lagu sm*sh tetapi lagu yang sekira nya
mempunyai nilai kearifan.
TPS, di kontrakan teman
tercinta,Jember, Jawa Timur 24/11/11
Sumber dari
[i]
Harahap,
Irwansyah. 2000. Etnomusikologi. Diktat Pelatihan Produksi Siaran Musik
Etnik di Radio
[ii] A.M
Jones.”Afrika and Indonesia”,Leiden.1971
Baca dari, Dick Read.Robert.2008.Bukti-bukti muktahir
tentang penjelahan pelaut Indonesia abad ke 5 jauh sebelum cheng ho dan
Columbus,”Pengaruh peradaban Nusantara di
Afrika”.Ujungberung,Bandung.PT Mizan Pustaka.
jurnal karat 23 92, 28 oktober
2011, sarasvati, keenan nasution, ayu laksmi, ariel peterpan, ideologi musik,
the great beast, dan disko pemberontakan! « we're different cuz we play
free!.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar