“Asia-Afrika” Menonton (sekedar catatan FFAA
III, April 1964)
“…melalui layar
putih dengan segalanya hanya gambar dan hanya hiburan sifatnya itulah dibentuk
(kaum iseng) ukuran-ukuran baru secara efektif dalam sikap dan tingkah-laku
anak-anak tanggung kita.
Ukuran tentang
hakekat masa muda?Rebut kenikmatan dalam petualangan!
Ukuran tentang
keberanian? Cari musuh dan roti-kalung!
Ukuran tentang
cinta? Hitung jumlah gadis yang sudah jadi korban!
Ukuran tentang
solidariteit? Penodongan sebagai bukti setia!
Ukuran tentang
sukses hidup? “Katakanlah apa yang mau dikatakan, namun Al Capone termasyhur”
(Samandjaja)
Salam persahabatan
150 juta kepada dunia!
Saya yakin,
kawan-kawan di sini pasti pernah menonton film, terlepas dari apapun jenis film
tersebut, ataupun memperhatikan seluruh Festival Film baik yang diadakan
nasional ataupun level internasional seperti Piala Oscar, namun siapa sangka
‘pergulatan film’ di tahun 1960-an di Indonesia, terbakar pula semangat
Solidaritas Asia-Afrika. Tidak seperti
yang kita perkirakan, bahwa yang namanya KAA 1955, meskipun hanya disediakan 1
BAB di buku sejarah SD, SMP, SMA, secara historis disediakan sekitar 10 tahun,
terhitung, 1955-sampai huru-hara 1965. Terlepas dari beberapa momen KAA yang
diadakan rezim Orde Baru, saya pikir tanpa kehadiran ‘politik kebudayaan’ ala
Lekra, serasa ada yang kurang.
Pada rentang
waktu itulah, momen KAA 1955 dianggap sebagai batu pijakan untuk membangun
sebuah rumah baru bernama Asia-Afrika (Amerika Latin menjadi tiang pancang
terakhir pasca kedatangan Che Guevara, ke Indonesia, tahun 1959, dan berkunjung
ke Candi Borobudur lhooo,,heheJ) ditengah dua
rumah besar (USA dan Uni Soviet) yang saling berebut lahan Dunia, seluruh
pertemuan antara dua benua intens dilakukan antara lain sebagai berikut.
- Konperensi Mahasiswa ASIA AFRIKA di Bandung tahun 1956
- Konperensi pendahuluan pengarang ASIA AFRIKA di New Delhi tahun 1956
- Konperensi setia kawan rakyat ASIA AFRIKA di Kairo tahun 1957
- Konperensi persiapan wanita ASIA AFRIKA di Colombo tahun 1958
- Konperensi pemuda ASIA AFRIKA diKairo 1959
- Konperensi pertama solidaritas rakyat ASIA AFRIKA di Konakri tahun 1960
- Konperensi pertama wanita ASIA AFRIKA 1961
- Konperensi ahli hukum ASIA AFRIKA di Konakri tahun 1962
- Konperensi pengarang ASIA AFRIKA tahun 1962
- Konperensi wartawan ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1963
- Konperensi pertama buruh ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1964
- Festival film ASIA AFRIKA di Jakarta tahun1964
- Konprensi pendahuluan Islam ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1964
- Seminar pendahuluan ASIA AFRIKA di Al-Jazair tahun 1655
- Konprensi Islam ASIA AFRIKA di Bandung tahun 1965
Khusus, untuk Film, janganlah
dibayangkan bahwa pertemuan antar benua tersebut hanya sekedar membahas film mana yang baik,
mana yang banyak konsumen/pangsa pasar, ataupun actor/aktris mana yang paling
ganteng dan sexy (dengan sejumlah operasi fisik,,wkwkwk). Namun lebih dari itu,
memutuskan sebuah resolusi bersama untuk bersaing dengan film produksi
Hollywood. Nuansa zaman yang dihiasi oleh ‘politik sebagai panglima’ (lihat,
pidato kawan Nyoto) menjadi factor tersendiri yang memicu ‘bagaimana wajah film
Asia-Afrika’ pasca ‘sambung roso’ 1955 di Bandung dengan ‘auman maung’ DasaSila Bandung.
Adalah Festival Film Asia-Afrika
(FFAA) menjadi wadah berkumpulnya para pekerja film antar benua tersebut, dalam
membahas nuansa baru perfilman, ditengah derasnya arus film Hollywood,. Sebenarnya
yang pertama menjadi titik tolak adalah sebuah surat dari seorang anggota
Gerwani (1955) yang mengeluhkan bahwa terjadi dekadensi moral di kalangan
anak-anak akibat membanjirnya film cowboy,
dansa-dansa, percintaan, sehingga berbanding lurus dengan mentalitas anak-anak
di zaman tersebut. Bahkan, salah seorang pimpinan Pusat Lekra, Samandjaja,
menyebut para pengedar dan yang bersetuju dengan film negative tersebut dan
murahan itu sebagai “kaum iseng” yang melihat kebudayaan. Apalagi, Bachtiar
Siagian menganalisis bahwa masuknya film-film Amerika sejka 1920 tak lain
adalah membantu Belanda mengembangkan rasialisme di Indonesia. Sejak itu pula,
Belanda mengizinkan pedagang-pedagang Tionghoa untuk memasukkan film-filmyang
bersifat takhayul dari Tiongkok dengan maksud dan tujuan untuk membenamkan
Indonesia dalam mistik.
Di samping itu, rekomendasi
politik dari Panitia Sensor Film, 1 April 1961 menjadi tenaga tambahan bagi
terlibatnya apparatus Negara dalam membersihkan film-film berbau imperialisme,
begini salah satu kutipan pasalnya:
Film yang boleh dilepaskan untuk dipertunjukkan
kepada umum ialah film yang
1. Tidak melanggar kesusilaan dan/atau perasaan umum
2. Tidak mengganggu ketentraman/ketertiban umum
3. Cukup pantas dan/atau tidak memberi pengaruh buruk
kepada masyarakat
4. Tidak bertentangan dengan melanggar cita-cita
kenegaraan dan kemasyakaratan kita, atau cita-cita politis-sosial-ekonomi dan
kebudayaan kita.
Film, baik yang dibuat oleh perusahaan luar negeri
dan perusahaan dalam negeri, harus ditolak jika berisikan unsur-unsur atau
mengandung tema sebagai berikut:
Dalam poin
politik disebutkan antara lain:
1. Apa yang menghina atau menertawakan bangsa Kulit
Berwarna pada umumnya
2. Apa yang dengan langsung atau tidak langsung
membenarkan kapitalisme, imperialism, dan kolonialisme
3. Apa yang menganggu cita-cita persaudaraan antara
Bangsa Asia dan Afrika
4. Apa yang mengganggu cita-cita bangsa Indonesia akan
persahabatan dan perdamaian antara bangsa-bangsa seluruh dunia
…..
Walhasil, episode berikutnya
adalah tahun pembabatan bagi film-film kaum imperialis (AS dan Inggris).
Menurut, Ny Utami Suryadarma, misalnya kurun antara tahun 1960-1961 ada 130
judul film Amerika yang beredar. Lalu seterusnya Jepang (59), India (30),
Italia (25), RRT (25), Pakistan (24), Inggris (20), Hong Kong (15), Uni Sovyet
(10), Singapura (5), Jerman Barat (2), Prancis (1), Lebanon (1), RDR Korea
Utara (1). Salah satu film yang kena gebuk yaitu The Desert Fox, produksi AS,
namun film-film yang mendapat apresiasi tinggi dari HR. Bandaharo yaitu Bunga
Merah dan Penenun, produksi Korea Utara, ditambah lagi analis dari Bachtiar
Siagian tentang film Di Persimpangan Jalan (1937),Dahan Kering Menemui Musim
Semi (1961), Bagaikan Air Sungai Musim Semi Mengalir ke Timur(1942), produksi
RR Tiongkok.
Akhirnya, artikulasi keluhan dan
kristalisasi kecaman bagi film imperialism tersebut membentuk FFAA I di
Tashkent/1958, FFAA II di Kairo/1960. Berikutnya, Jakarta menjadi panggung bagi
berlaganya FFAA III, yang dihelat tanggal 19 April 1964. Dengan pidato
pembukaan dari Bung Karno, yang mengatakan
“Jika kita mau mengancurkan imperialism,
kolonialisme, dan neokolonialisme, maka adalah keharusan bahwa
Asia-Afrika-Amerika Latin bersatu, bahwa Nefo harus bersatu, barulah dapat
menyusun suatu Dunia Baru tanpa pengisapan atas manusia oleh manusia. Seorang
yang menamakan dirinya revolusioner tapi tidak mecari kesetiakawanan KAA maka
ia adalah revolusioner palsu…Film sering dipakai untuk tujuan politik-politik
yang tidak baik. Contoh, film AS ‘The Broken Arrow’ dimana percintaan antara
perwira kulit putih dan gadis Indian, kekasihnya tidak diberi suatu ‘happy
ending’ karena produsernya takut bahwa jika filmnya berakhir dengan perkawinan
antara seorang kulit putih dan seorang kulit berwarna, maka film itu akan
diboikot di AS bagian selatan. Jadi tujuannya mencari duwit !!!”
Bagi, Joebaar Ajoeb sendiri
berpandangan bahwa hubungan antara FFAA dengan politik perjuangan Asia-Afrika di
tengah sikap inferioritas seniman pekerja-pekerja film dan bahkan
politikus-politikusnya,sehingga dalam FFAA ini nilai artistic dan ideology
dipadukan. Hal ini semakin diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum Komnas FFAA
dan Ketua Delegasi Indonesia Ny. Utami Suryadarma yang memaparkan bahwa:
“Jadi film-film yang akan difestivalkan juga tidak
boleh menyimpang dari itu (Semangat Bandung=Dasasila Bandung). Tegas ditolak
film-film yang isinya mempropagandakan politik imperialism-kolonialisme lama
dan baru, politik agresi, diskriminasi rasial, kebejatan moral, menghina Rakyat
Asia-Afrika dan yang bertentangan dengan solidariteit Rakyat-Rakyat
Asia-Afrika”
Jenis film yang difestivalkan antara
lainfilm bergenre cerita, film anak-anak, film documenter. Rentang waktu
pembuatan film itu ialah hasil produksi sesudah FFAA II. Setiap Negara
mengikutkan 3 film. Adapun juri untuk festival ini berjumlah 15 orang:6 dari
Asia, 6 dari Afrika, dan 3 dari Indonesia. Para juri terdiri dari sutradara,
kritikus film, dan ahli perfilman. Ada dua macam hadiah ayng diperebutkan
peserta. Pertama ‘Bandung Award’(Hadiah Bandung) yang disediakan untuk 7 buah
film cerita, anak-anak, dan documenter. Kedua,’Lumumba Award’ yang disediakan
untuk penulisan scenario, penyutradaraan, actor, aktris, fotografi, music, dan art designing.Festival ini diikuti 27
negara Asia dan Afrika, antara lain sebagai berikut:
ASIA: RDR Korea Utara, Mongolia, RRT/China, Jepang,
Uni Soviet, Republik Demokrasi Vietnam, FNP Vietnam Selatan, Nepal, India,
Srilangka, Pakistan, NKKU,
AFRIKA:Republik Persatuan Arab,
Lebanon, Tunisia, Rodesia Utara, Rodesia Selatan, Afrika Barat Laut, Kongo,
Somalia, Mali, Irak, Zanzibar, Aljazair, Sudan, Ghana.
Menariknya,
pasca event FFAA III itulah, para seniman dan pekerja film Indonesia menyatakan
ikrar yang salah satu bunyinya adalah 30 April sebagai Hari Film Nasional.
Begini bunyinya:
Ikrar Seniman dan Pekerja
Film Indonesia Setelah FFAA
KAMI, seniman-seniman dan
pekerja-pekerja film Indonesia yang ambil bagian aktif dalam FFAA III, pada
kesempatan yang bersejarah dilangsungkannya FFAA III di ibukota RI ini,
memperbarui kebulatan tekad kami untuk ikut menyelesaikan tuntutan-tuntutan
Revolusi 1945 dan mengabdikan segala bakat dan kecakapan kami untuk tujuan
mulia ini.
Sesuai dengan filsafat Bung
Karno, menjebol dan membangun, kami bertekad untuk menjebol dominasi imperialis
dalam kehidupan kebudayaan di Indonesia terutama dominasi imperialis dibidang
film. Kami menyadari keharusan ini sebagai syarat mutlak untuk pembangunan
perfilman nasional yang sehat, patriotik, dan demokratik.
Kami tanpa cadangan apapun
berjanji akan melaksanakan garis Manipol dibidang kebudayaan, yaitu melawan
kebudayaan imperialis, memisahkan kawan dan lawan, mengkonsentrasikan semua
potensi nasional, dan menyelesaikan revolusi tahap nasional, demokratis, menuju
sosialisme Indonesia.
Kami berketetapan hati untuk
meneruskan perjuangan melawan phobia-phobia-an, Manikebu-Manikebu-an, terutama
dibidang film, dan kami dalam semangat kompetisi nasional berjiwa Pancasila dan
manipol akan berlomba-lomba untuk membuat film yang sebaik-sebaiknya yang
memuhi harapan sokoguru-sokoguru revolusi dan harapan rakyat seluruhnya.
Kami sepakat untuk menjadikan
30 April sebagai Hari Film Nasional.
Jakarta, 30 April 1964
Seniman-seniman dan
pekerja-pekerja film dalam FFAA III
Dampak dari
adanya pentas FFAA III adalah ‘pembenaran’ bagi sejumlah aksi pemboikotan
film-film AS yang dinilai sebagai dalang dari dekadensi moral, dan tentunya
idiom-idiom kontarevolusi, penggunaan kata ‘ganyang’, sekaligus sentiment siapa
“kulit berwarna’ dan siapa ‘kulit putih’ turut menghiasi (sampai pada akhirnya
The Beatles sebagai perwakilan music ngak-ngik-ngok ikut digusur), dan pada
fase inilah PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat)
mengambil bagian dari aksi menetralisir seluruh film AS yang direpresentasikan
sebagai kekuatan imperialis.
Akhirnya, dari
catatan sejarah itulah bisa kita lihat bahwasanya penegasan garis politik film
menjadi refleksi ulang dalam melihat kondisi perfilman Indonesia saat ini (saya sendiri enggan menyebutkan kritiknya
secara mendetail, saya tahu apa saja buntelan grundel dalam hati kawan-kawan
saat melihat perfilman Indonesia T_T), hingga terkadang ibu-ibu harus turun
ke jalan untuk memprotes sebuah rumah perfilman sebab film-film yang
diproduksinya sangat berbahaya bagi keluarganya. Saya pernah menemukan sebuah
lelucon satir, bahwa ternyata jauh sebelum MUI (sok) khawatir dengan keadaan
moralitas bangsa dan kritikus film angkat bicara tentang film yang miskin
artistic (apalagi ideology) serta cenderung pada ranah komersialisme. Ternyata,
di tahun 1960-an, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut sudah dimulai dan
berbentuk aksi pemboikotan yang didukung kesadaran penuh dari seluruh actor
Negara-bangsa untuk melihat film sebagai bagian dari politik sekaligus
solidaritas Asia-Afrika…
Uhuru !!! Salam…J
HKW, Magetan. 7/7/2011
Sumber:
Untuk dokumentasi foto, silahkan
lihat FotoHistoria, Institut Sejarah Sosial Indonesia, koleksi bung Oey Hay
Djoen, foto Festival Film Asia-Afrika 1964.
Seluruh dokumen Harian Rakyat
dari tahun 1955-1965 yang dirangkum dalam “Lekra tidak membakar buku”, karya
Muhidin Dahlan, Rhoma Dwi Ari Yuliantri, Yogyakarta:MeraKesumba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar