Jumat, 25 November 2011

Menonton


 “Asia-Afrika” Menonton (sekedar catatan FFAA III, April 1964)

“…melalui layar putih dengan segalanya hanya gambar dan hanya hiburan sifatnya itulah dibentuk (kaum iseng) ukuran-ukuran baru secara efektif dalam sikap dan tingkah-laku anak-anak tanggung kita.
Ukuran tentang hakekat masa muda?Rebut kenikmatan dalam petualangan!
Ukuran tentang keberanian? Cari musuh dan roti-kalung!
Ukuran tentang cinta? Hitung jumlah gadis yang sudah jadi korban!
Ukuran tentang solidariteit? Penodongan sebagai bukti setia!
Ukuran tentang sukses hidup? “Katakanlah apa yang mau dikatakan, namun Al Capone termasyhur”
(Samandjaja)

Salam persahabatan 150 juta kepada dunia!

Saya yakin, kawan-kawan di sini pasti pernah menonton film, terlepas dari apapun jenis film tersebut, ataupun memperhatikan seluruh Festival Film baik yang diadakan nasional ataupun level internasional seperti Piala Oscar, namun siapa sangka ‘pergulatan film’ di tahun 1960-an di Indonesia, terbakar pula semangat Solidaritas Asia-Afrika.  Tidak seperti yang kita perkirakan, bahwa yang namanya KAA 1955, meskipun hanya disediakan 1 BAB di buku sejarah SD, SMP, SMA, secara historis disediakan sekitar 10 tahun, terhitung, 1955-sampai huru-hara 1965. Terlepas dari beberapa momen KAA yang diadakan rezim Orde Baru, saya pikir tanpa kehadiran ‘politik kebudayaan’ ala Lekra, serasa ada yang kurang.
Pada rentang waktu itulah, momen KAA 1955 dianggap sebagai batu pijakan untuk membangun sebuah rumah baru bernama Asia-Afrika (Amerika Latin menjadi tiang pancang terakhir pasca kedatangan Che Guevara, ke Indonesia, tahun 1959, dan berkunjung ke Candi Borobudur lhooo,,heheJ) ditengah dua rumah besar (USA dan Uni Soviet) yang saling berebut lahan Dunia, seluruh pertemuan antara dua benua intens dilakukan antara lain sebagai berikut.

  1. Konperensi Mahasiswa ASIA AFRIKA di Bandung tahun 1956
  2. Konperensi pendahuluan pengarang ASIA AFRIKA di New Delhi tahun 1956
  3. Konperensi setia kawan rakyat ASIA AFRIKA di Kairo tahun 1957
  4. Konperensi persiapan wanita ASIA AFRIKA di Colombo tahun 1958
  5. Konperensi pemuda ASIA AFRIKA diKairo 1959
  6. Konperensi pertama solidaritas rakyat ASIA AFRIKA di Konakri tahun 1960
  7. Konperensi pertama wanita ASIA AFRIKA 1961
  8. Konperensi ahli hukum ASIA AFRIKA di Konakri tahun 1962
  9. Konperensi pengarang ASIA AFRIKA tahun 1962
  10. Konperensi wartawan ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1963
  11. Konperensi pertama buruh ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1964
  12. Festival film ASIA AFRIKA di Jakarta tahun1964
  13. Konprensi pendahuluan Islam ASIA AFRIKA di Jakarta tahun 1964
  14. Seminar pendahuluan ASIA AFRIKA di Al-Jazair tahun 1655
  15. Konprensi Islam ASIA AFRIKA di Bandung tahun 1965

Khusus, untuk Film, janganlah dibayangkan bahwa pertemuan antar benua tersebut  hanya sekedar membahas film mana yang baik, mana yang banyak konsumen/pangsa pasar, ataupun actor/aktris mana yang paling ganteng dan sexy (dengan sejumlah operasi fisik,,wkwkwk). Namun lebih dari itu, memutuskan sebuah resolusi bersama untuk bersaing dengan film produksi Hollywood. Nuansa zaman yang dihiasi oleh ‘politik sebagai panglima’ (lihat, pidato kawan Nyoto) menjadi factor tersendiri yang memicu ‘bagaimana wajah film Asia-Afrika’ pasca ‘sambung roso’ 1955 di Bandung dengan ‘auman maung’  DasaSila Bandung.
Adalah Festival Film Asia-Afrika (FFAA) menjadi wadah berkumpulnya para pekerja film antar benua tersebut, dalam membahas nuansa baru perfilman, ditengah derasnya arus film Hollywood,. Sebenarnya yang pertama menjadi titik tolak adalah sebuah surat dari seorang anggota Gerwani (1955) yang mengeluhkan bahwa terjadi dekadensi moral di kalangan anak-anak akibat membanjirnya film cowboy, dansa-dansa, percintaan, sehingga berbanding lurus dengan mentalitas anak-anak di zaman tersebut. Bahkan, salah seorang pimpinan Pusat Lekra, Samandjaja, menyebut para pengedar dan yang bersetuju dengan film negative tersebut dan murahan itu sebagai “kaum iseng” yang melihat kebudayaan. Apalagi, Bachtiar Siagian menganalisis bahwa masuknya film-film Amerika sejka 1920 tak lain adalah membantu Belanda mengembangkan rasialisme di Indonesia. Sejak itu pula, Belanda mengizinkan pedagang-pedagang Tionghoa untuk memasukkan film-filmyang bersifat takhayul dari Tiongkok dengan maksud dan tujuan untuk membenamkan Indonesia dalam mistik.
Di samping itu, rekomendasi politik dari Panitia Sensor Film, 1 April 1961 menjadi tenaga tambahan bagi terlibatnya apparatus Negara dalam membersihkan film-film berbau imperialisme, begini salah satu kutipan pasalnya:

Film yang boleh dilepaskan untuk dipertunjukkan kepada umum ialah film yang
1.       Tidak melanggar kesusilaan dan/atau perasaan umum
2.       Tidak mengganggu ketentraman/ketertiban umum
3.       Cukup pantas dan/atau tidak memberi pengaruh buruk kepada masyarakat
4.       Tidak bertentangan dengan melanggar cita-cita kenegaraan dan kemasyakaratan kita, atau cita-cita politis-sosial-ekonomi dan kebudayaan kita.
Film, baik yang dibuat oleh perusahaan luar negeri dan perusahaan dalam negeri, harus ditolak jika berisikan unsur-unsur atau mengandung tema sebagai berikut:

Dalam poin politik disebutkan antara lain:

1.       Apa yang menghina atau menertawakan bangsa Kulit Berwarna pada umumnya
2.       Apa yang dengan langsung atau tidak langsung membenarkan kapitalisme, imperialism, dan kolonialisme
3.       Apa yang menganggu cita-cita persaudaraan antara Bangsa Asia dan Afrika
4.       Apa yang mengganggu cita-cita bangsa Indonesia akan persahabatan dan perdamaian antara bangsa-bangsa seluruh dunia
…..

Walhasil, episode berikutnya adalah tahun pembabatan bagi film-film kaum imperialis (AS dan Inggris). Menurut, Ny Utami Suryadarma, misalnya kurun antara tahun 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Lalu seterusnya Jepang (59), India (30), Italia (25), RRT (25), Pakistan (24), Inggris (20), Hong Kong (15), Uni Sovyet (10), Singapura (5), Jerman Barat (2), Prancis (1), Lebanon (1), RDR Korea Utara (1). Salah satu film yang kena gebuk yaitu The Desert Fox, produksi AS, namun film-film yang mendapat apresiasi tinggi dari HR. Bandaharo yaitu Bunga Merah dan Penenun, produksi Korea Utara, ditambah lagi analis dari Bachtiar Siagian tentang film Di Persimpangan Jalan (1937),Dahan Kering Menemui Musim Semi (1961), Bagaikan Air Sungai Musim Semi Mengalir ke Timur(1942), produksi RR Tiongkok.
Akhirnya, artikulasi keluhan dan kristalisasi kecaman bagi film imperialism tersebut membentuk FFAA I di Tashkent/1958, FFAA II di Kairo/1960. Berikutnya, Jakarta menjadi panggung bagi berlaganya FFAA III, yang dihelat tanggal 19 April 1964. Dengan pidato pembukaan dari Bung Karno, yang mengatakan

“Jika kita mau mengancurkan imperialism, kolonialisme, dan neokolonialisme, maka adalah keharusan bahwa Asia-Afrika-Amerika Latin bersatu, bahwa Nefo harus bersatu, barulah dapat menyusun suatu Dunia Baru tanpa pengisapan atas manusia oleh manusia. Seorang yang menamakan dirinya revolusioner tapi tidak mecari kesetiakawanan KAA maka ia adalah revolusioner palsu…Film sering dipakai untuk tujuan politik-politik yang tidak baik. Contoh, film AS ‘The Broken Arrow’ dimana percintaan antara perwira kulit putih dan gadis Indian, kekasihnya tidak diberi suatu ‘happy ending’ karena produsernya takut bahwa jika filmnya berakhir dengan perkawinan antara seorang kulit putih dan seorang kulit berwarna, maka film itu akan diboikot di AS bagian selatan. Jadi tujuannya mencari duwit !!!”

Bagi, Joebaar Ajoeb sendiri berpandangan bahwa hubungan antara FFAA dengan politik perjuangan Asia-Afrika di tengah sikap inferioritas seniman pekerja-pekerja film dan bahkan politikus-politikusnya,sehingga dalam FFAA ini nilai artistic dan ideology dipadukan. Hal ini semakin diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum Komnas FFAA dan Ketua Delegasi Indonesia Ny. Utami Suryadarma yang memaparkan bahwa:

            “Jadi film-film yang akan difestivalkan juga tidak boleh menyimpang dari itu (Semangat Bandung=Dasasila Bandung). Tegas ditolak film-film yang isinya mempropagandakan politik imperialism-kolonialisme lama dan baru, politik agresi, diskriminasi rasial, kebejatan moral, menghina Rakyat Asia-Afrika dan yang bertentangan dengan solidariteit Rakyat-Rakyat Asia-Afrika”

            Jenis film yang difestivalkan antara lainfilm bergenre cerita, film anak-anak, film documenter. Rentang waktu pembuatan film itu ialah hasil produksi sesudah FFAA II. Setiap Negara mengikutkan 3 film. Adapun juri untuk festival ini berjumlah 15 orang:6 dari Asia, 6 dari Afrika, dan 3 dari Indonesia. Para juri terdiri dari sutradara, kritikus film, dan ahli perfilman. Ada dua macam hadiah ayng diperebutkan peserta. Pertama ‘Bandung Award’(Hadiah Bandung) yang disediakan untuk 7 buah film cerita, anak-anak, dan documenter. Kedua,’Lumumba Award’ yang disediakan untuk penulisan scenario, penyutradaraan, actor, aktris, fotografi, music, dan art designing.Festival ini diikuti 27 negara Asia dan Afrika, antara lain sebagai berikut:
               
ASIA: RDR Korea Utara, Mongolia, RRT/China, Jepang, Uni Soviet, Republik Demokrasi Vietnam, FNP Vietnam Selatan, Nepal, India, Srilangka, Pakistan, NKKU,
                AFRIKA:Republik Persatuan Arab, Lebanon, Tunisia, Rodesia Utara, Rodesia Selatan, Afrika Barat Laut, Kongo, Somalia, Mali, Irak, Zanzibar, Aljazair, Sudan, Ghana.

            Menariknya, pasca event FFAA III itulah, para seniman dan pekerja film Indonesia menyatakan ikrar yang salah satu bunyinya adalah 30 April sebagai Hari Film Nasional. Begini bunyinya:

Ikrar Seniman dan Pekerja Film Indonesia Setelah FFAA
KAMI, seniman-seniman dan pekerja-pekerja film Indonesia yang ambil bagian aktif dalam FFAA III, pada kesempatan yang bersejarah dilangsungkannya FFAA III di ibukota RI ini, memperbarui kebulatan tekad kami untuk ikut menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi 1945 dan mengabdikan segala bakat dan kecakapan kami untuk tujuan mulia ini.
Sesuai dengan filsafat Bung Karno, menjebol dan membangun, kami bertekad untuk menjebol dominasi imperialis dalam kehidupan kebudayaan di Indonesia terutama dominasi imperialis dibidang film. Kami menyadari keharusan ini sebagai syarat mutlak untuk pembangunan perfilman nasional yang sehat, patriotik, dan demokratik.
Kami tanpa cadangan apapun berjanji akan melaksanakan garis Manipol dibidang kebudayaan, yaitu melawan kebudayaan imperialis, memisahkan kawan dan lawan, mengkonsentrasikan semua potensi nasional, dan menyelesaikan revolusi tahap nasional, demokratis, menuju sosialisme Indonesia.
Kami berketetapan hati untuk meneruskan perjuangan melawan phobia-phobia-an, Manikebu-Manikebu-an, terutama dibidang film, dan kami dalam semangat kompetisi nasional berjiwa Pancasila dan manipol akan berlomba-lomba untuk membuat film yang sebaik-sebaiknya yang memuhi harapan sokoguru-sokoguru revolusi dan harapan rakyat seluruhnya.
Kami sepakat untuk menjadikan 30 April sebagai Hari Film Nasional.

Jakarta, 30 April 1964
Seniman-seniman dan pekerja-pekerja film dalam FFAA III

            Dampak dari adanya pentas FFAA III adalah ‘pembenaran’ bagi sejumlah aksi pemboikotan film-film AS yang dinilai sebagai dalang dari dekadensi moral, dan tentunya idiom-idiom kontarevolusi, penggunaan kata ‘ganyang’, sekaligus sentiment siapa “kulit berwarna’ dan siapa ‘kulit putih’ turut menghiasi (sampai pada akhirnya The Beatles sebagai perwakilan music ngak-ngik-ngok ikut digusur), dan pada fase inilah PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat) mengambil bagian dari aksi menetralisir seluruh film AS yang direpresentasikan sebagai kekuatan imperialis.
Akhirnya, dari catatan sejarah itulah bisa kita lihat bahwasanya penegasan garis politik film menjadi refleksi ulang dalam melihat kondisi perfilman Indonesia saat ini (saya sendiri enggan menyebutkan kritiknya secara mendetail, saya tahu apa saja buntelan grundel dalam hati kawan-kawan saat melihat perfilman Indonesia T_T), hingga terkadang ibu-ibu harus turun ke jalan untuk memprotes sebuah rumah perfilman sebab film-film yang diproduksinya sangat berbahaya bagi keluarganya. Saya pernah menemukan sebuah lelucon satir, bahwa ternyata jauh sebelum MUI (sok) khawatir dengan keadaan moralitas bangsa dan kritikus film angkat bicara tentang film yang miskin artistic (apalagi ideology) serta cenderung pada ranah komersialisme. Ternyata, di tahun 1960-an, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut sudah dimulai dan berbentuk aksi pemboikotan yang didukung kesadaran penuh dari seluruh actor Negara-bangsa untuk melihat film sebagai bagian dari politik sekaligus solidaritas Asia-Afrika…

Uhuru !!! Salam…J

HKW, Magetan. 7/7/2011

Sumber:
Untuk dokumentasi foto, silahkan lihat FotoHistoria, Institut Sejarah Sosial Indonesia, koleksi bung Oey Hay Djoen, foto Festival Film Asia-Afrika 1964.
Seluruh dokumen Harian Rakyat dari tahun 1955-1965 yang dirangkum dalam “Lekra tidak membakar buku”, karya Muhidin Dahlan, Rhoma Dwi Ari Yuliantri, Yogyakarta:MeraKesumba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar